Senin, 03 Juni 2013

Buku yang Mengubah Peta Dunia

Apalagi setelah Lonely Planet melengkapi serialnya dengan menerbitkan buku panduan perjalanan ke hampir seluruh negara di bumi. "LP (Lonely Planet) telah mengubah gaya orang traveling," kata Agustinus Wibowo, pengelana yang telah menerbitkan tiga buku, termasuk Titik Nol (2013). "Dengan buku itu, orang bisa pergi semakin mudah, semakin cepat, dan semakin jauh." Agustinus pernah memakai buku itu saat backpacking untuk pertama kalinya pada 2002 ke Mongolia.



Banyak traveler bergantung pada LP karena informasi yang ditawarkan cukup lengkap, dari transportasi (dari tiket pesawat murah hingga tarif ojek ke Desa Tengger di kaki Gunung Bromo, Jawa Timur), hotel murah, sampai warung-warung yang tidak mata duitan. Pada 1970-an hingga awal 2000, ketika informasi belum melimpah di Internet seperti sekarang, LP merupakan benda paling berharga dalam perjalanan setelah paspor dan dompet. LP telah membuat bumi semakin kecil. Peta berubah karena aktivitas jalan-jalan semakin mudah.


***


Kisah sukses LP dimulai saat Tony meraih gelar MBA-nya di London School of Business pada 1972. Ia memutuskan rehat selama setahun dan mengajak istrinya, Maureen, berbulan madu dengan berkelana. Rencananya, mereka ingin berpuas-puas traveling sampai bosan, lalu hidup normal dan mapan serta tak ingin lagi jalan-jalan.


Perjalanan mereka dari Inggris sampai Australia mengagetkan banyak temannya. "Bagaimana mungkin pasangan muda yang belum mapan ini mampu jalan-jalan sampai ke ujung dunia? Di mana kalian tinggal? Makan apa? Kok bisa dapat tiket murah?" demikian beberapa pertanyaan yang mencuat. Untuk menjawabnya, setahun kemudian, mereka menerbitkan buku Across Asia on the Cheap, setebal 94 halaman dengan harga US$ 1,80.


Kesuksesan itu membuat pasangan ini mengubah tujuan hidup. Cita-cita untuk hidup mapan dan melupakan travel pun dibalik: lupakan hidup mapan dan jalan-jalan tiada henti. "Setiap hari kami selalu menemukan hal baru. Kadang memang pengalaman segar itu tidak nyaman, tapi yang pasti tidak membosankan," kata Tony kepada blog berjudul Inside Flipboard.


Tidak membosankan memang, karena Tony tidak pilih-pilih soal tujuan wisata. Ia tak hanya bisa ke tempat yang memang asyik dikunjungi, tapi juga daerah yang ia sebut dark lands, seperti Kongo atau Korea Utara. Negara yang sangat ingin dikunjungi tapi belum juga terlaksana adalah Yaman. "Menyenangkan, lho, pergi ke negara bereputasi buruk, seperti Pakistan, Kongo, Palestina, atau Iran. Bertemu dengan orang-orang yang luar biasa, minum teh, mengutip puisi, dan minum alkohol ilegal," tutur dia.


Semangat berpetualang dan menggelandang inilah yang ingin ditularkan oleh Tony dan LP kepada pembacanya. Sampai pada derajat tertentu, hal itu berhasil. Dengan LP, orang berpikir, ternyata mereka bisa melakukan traveling dengan uang terbatas. Inilah yang memicu pertumbuhan jumlah backpacker yang luar biasa belakangan ini. Buku panduan perjalanan, yang dulunya terbatas pada kalangan atas, ramai-ramai diterbitkan untuk para backpacker.


Sayangnya, LP juga memberi dampak buruk bagi dunia perjalanan. "Informasi yang terkompilasi itu mengubah kecepatan dalam traveling. Orang begitu mudah berpindah tempat," kata Agustinus. Tanpa LP atau buku panduan sejenis, para traveler akan saling berinteraksi dan berbagi pengalaman. Bahkan mereka senang bergaul dengan penduduk lokal untuk mendapatkan informasi. "LP membuat kita tidak membutuhkan orang lain," kata Agus.


Traveler juga enggan mengeksplorasi sendiri hal-hal lain di luar yang sudah disajikan LP. Tempat yang dikunjungi para backpacker itu-itu saja. "Di hotel ketemu mereka, di tempat yang mesti dikunjungi, jumpa mereka lagi. Eh, di warung makan bareng mereka juga. Ini karena kami berpatokan pada buku yang sama," ujar Agus, yang menuliskan kisah perjalanannya ke Afganistan dalam buku Selimut Debu. Itulah kenapa Agustinus tak lagi memakai LP sejak 2003.


Rekomendasi suatu tempat yang diberikan LP juga membuat tempat itu berubah. Surga yang hilang berubah menjadi tempat wisata biasa. Orang banyak datang ke sana, memotret, dan diharapkan uangnya oleh penduduk lokal. Eksploitasi-seperti pada suku Karen berleher panjang di Thailand-juga terjadi.


Namun, seperti kata Agustinus, kesalahan bukan pada LP, melainkan sikap para petualang. Artinya, daripada mengikuti apa yang tertulis dalam Lonely Planet, lebih baik kita melakukan apa yang diperbuat oleh Tony saat menulis bukunya: pergi ke tempat baru, mengeksplorasi hal yang belum ditemukan, dan selalu penasaran. QARIS TAJUDIN

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Buku yang Mengubah Peta Dunia

0 komentar:

Posting Komentar


-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.